Sumber.co.id - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) berbicara soal potensi keringanan hukuman Ferdy Sambo, terdakwa pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang sudah divonis mati oleh hakim.
Ketua PBHI Nasional, Julius Ibrani, menyinggung potensi keringanan hukuman ini dengan dikaitkan Pasal 100 KUHP baru.
"Mungkin yang istilah yang tepat bukan keringanan ya, tetapi perubahan struktur dari pidana pokok yaitu pidana mati, yang menjadi pidana khusus itu. Tentu menimbulkan konsekuensi adanya ancaman lain yang menyertai yaitu ancaman percobaan," ujar Julius kepada B-Universe, Selasa (14/2/2023).
"Tetapi itu hanya dalam konteks memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri dan memenuhi syarat. Misalnya, satu adanya rasanya penyesalan dan harapan untuk memperbaiki diri dan itu masih pertimbangan ke majelis hakim, Tapi, itu pun jika putusan sudah inkrah," tuturnya.
Dalam Pasal 100 KUHP baru yang disahkan pada 6 Desember 2022, pidana mati bersifat alternatif.
KUHP baru memberikan masa percobaan 10 tahun bagi terpidana untuk berbuat baik di penjara. Apabila selama 10 tahun terdakwa berbuat baik, hukumannya dapat diubah menjadi penjara seumur hidup.
Dalam Pasal 100 ayat 1 KUHP, ada tiga hal yang diperhatikan untuk dapat mengubah pidana mati menjadi seumur hidup. Berikut bunyinya:
(1) Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:
a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau
b. peran terdakwa dalam tindak pidana.
c. ada alasan yang meringankan.
Dengan melihat fakta sekarang, kata Julius, KUHP yang baru belum bisa diberlakukan, karena ini masih masa transisi. Kedua, dia juga menyoroti bahwa masih ada jangka waktu untuk Ferdy Sambo mengajukan banding, yakni 7 hari, setelah putusan dibacakan hakim.
Menyinggung soal pidana mati dalam vonis Sambo, Julius juga menyoroti isu hak asasi manusia (HAM). Menurutnya, vonis mati tetap melanggar HAM.
"Betul (melanggar HAM). Jelas pada prinsipnya berdasarkan Pasal 6 dan turunannya Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, hak atas hidup itu merupakan hak yang tidak dapat dikurangi sedikit pun ataupun ditunda begitu, dasar HAM itu," turur Julius.
Dalam penetapan hukuman, lanjut Julius, level praktikal sebetulnya di Indonesia lebih banyak pertimbangan politis ketimbang pertimbangan substantif. Soal pertimbangan substantif, menurutnya yang perlu untuk membongkar adalah keseluruhan isu yang menyelimuti kasus Ferdy Sambo.
"Mulai dari Satgasus Merah Putih, adanya dugaan uang cash ratusan miliar, juga adanya motif di balik pembunuhan Brigadir Yosua dan transaksi di belakangnya. Ini yang belum terbuka secara luas akibatnya apa, lebih banyak isu politisnya ketimbang isu substantif nah ini yang harus diperhatikan," terangnya.
"Saya sepakat dengan Setara (soal vonis mati melanggar HAM), tetapi juga majelis hakim harus memperhatikan putusan Yosua, harus mengakomodasi bukan hanya tekstual dari pasal-pasal pembunuhan berencana dan vonis mati, tetapi kontekstualitas yang telah dikorbankan oleh seorang Brigadir Yosua atas pembunuhan berencana yang menimpanya itu adalah reformasi institusi kepolisian," tandasnya.
Diketahui, Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menjatuhkan hukuman mati terhadap mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo. Majelis hakim menyatakan Ferdy Sambo terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Perbuatan itu dilakukan Ferdy Sambo bersama-sama dengan istrinya Putri Candrawathi, ajudannya Richard Eliezer atau Bharada E dan Ricky Rizal atau Bripka RR serta sopirnya Kuat Ma'ruf.